Aktivis Lingkungan: Sektor Pertambangan Berkontribusi Sebabkan Bencana Lingkungan di Aceh

Aktivis Lingkungan: Sektor Pertambangan Berkontribusi Sebabkan Bencana Lingkungan di Aceh

Aktivis lingkungan dari Aceh Climate Change Studies, Dr Muhammad Nizar mengatakan tambang ilegal maupun legal mestinya ditutup saja karena bisa membawa dampak pada kerusakan lingkungan.

Sebab dari kacamata lingkungan, baik tambang legal maupun ilegal sama-sama tidak baik.

“Dari sisi lingkungan, kita melihatnya ini jangankan yang ilegal, yang legal saja merusak lingkungan juga,” ungkap Nizar dalam Serambi Podcast bersama Hurriah Foundation bertajuk ‘Bencana Alam: Akibat Penambangan Ilegal di Aceh?’ di Studio Serambinews dipandu host Tieya Andalusia, Selasa (29/11/2022).

“Jadi dua-dua ini merusak lingkungan,” tambahnya.

Namun demikian, menurut Nizar dari kacamata ekonomi ada kebutuhan-kebutuhan yang mesti dipenuhi.

“Intinya, kalau dari perspektif lingkungan saya rasa memang harus ditutup yang ilegal. Kalau yang legal berarti harus dibina, dipastikan mereka mematuhi prinsip-prinsip pengelolaan yang baik,” tambahnya.

Ia mencontohkan, membuat rumah saja sudah merusak lingkungan karena dalam prosesnya dilakukan pengerukan di sekitar.

Meski demikian, analogi rumah hanya luasan kecil bila dibandingkan dengan jumlah tambang ilegal yang ribuan hektar.

Perlu diketahui, catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, sudah 2.000 hektar lahan yang sudah dirusak akibat pertambangan emas ilegal.

“Dengan membuka hutan, dampaknya tak ada lagi yang menyerap karbon dan tempat tinggal satwa,” ungkap Nizar.

Sementara Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdinur MM menjelaskan ada perbedaan mendasar antara pertambangan ilegal dan legal.

Pertambangan ilegal, lanjutnya, sudah pasti aktivitas penambangan di dalamnya dilakukan secara tidak sah atau tanpa izin.

Sementara pertambangan legal merupakan aktivitas yang sudah diawali melalui berbagai mekanisme dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin.

Penambangan ilegal menurutnya sangat tidak diinginkan terjadi di Aceh karena tidak bisa dilakukan pembinaan dan pengawasan, hanya bisa dilakukan penertiban atau penutupan.

“Kalau di Aceh, sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006, kita masih diberi kewenangan untuk menerbitkan izin. Tapi kalau secara nasional, perizinan sudah jadi kewenangan pusat,” jelas Mahdinur.

“Nah yang namanya legal itu tentu melalui suatu prosedur, yang menerbitkan izin adalah pemerintah kepada yang mempunyai badan hukum (tidak bisa perseorangan),” tambahnya.

Kadis ESDM Aceh, Mahdinur mengungkap, dalam menghadapi tambang ilegal pihaknya memberikan imbauan sejak 2012 silam agar tidak melakukan kegiatan yang dilarang tersebut.

“Apalagi proses pengolahan emas dengan batuannya menggunakan merkuri, itu sangat berbahaya,” jelas Mahdinur.

“Pada 2014 Pemerintah Aceh atas nama Forkopimda saat itu telah menerbitkan imbauan bersama untuk masyarakat agar tidak melakukan penambangan ilegal karena ini jelas berbahaya,” tambahnya.

Pemerintah melalui Dinas ESDM Aceh, lanjut Mahdinur, hanya bisa memberikan imbauan dan menertibkan, tetapi kalau eksekusi pidana ranahnya ada di penegak hukum.

Sementara Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh, Dr Taufik Abdurrahim mengatakan, kalau kompensasi dari tambang legal saja tidak bisa menjamin kehidupan masyarakat dan tak membuat bencana teratasi, apalagi kemudian yang ilegal.

Penambangan ilegal menurutnya masih berlangsung saat ini di antaranya di Aceh Jaya, Aceh Selatan hingga Pidie yang kemudian memberikan dampak terhadap lingkungan.

“Hari ini menurut indeks bencana, yang tertinggi memberikan dampak itu ya banjir, 47 persen lebih, yang kedua longsor sekitar 13 persen, yang ketiga kekeringan dan yang keempat ada dan lain-lain,” jelas Taufik.

Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh itu juga menyinggung soal gubernur sebelum Pj Achmad Marzuki, ada 16 izin pertambangan yang dikeluarkan secara terburu-buru di Aceh.

“Setiap orang yang melakukan penambangan ilegal, sanksinya pidana dan disanksi sekitar Rp 100 juta,” jelas Mahdinur.

Sementara pertambangan legal merupakan aktivitas yang sudah diawali melalui berbagai mekanisme dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin.

Penambangan ilegal menurutnya sangat tidak diinginkan terjadi di Aceh karena tidak bisa dilakukan pembinaan dan pengawasan, hanya bisa dilakukan penertiban atau penutupan.

“Kalau di Aceh, sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006, kita masih diberi kewenangan untuk menerbitkan izin. Tapi kalau secara nasional, perizinan sudah jadi kewenangan pusat,” jelas Mahdinur.

“Nah yang namanya legal itu tentu melalui suatu prosedur, yang menerbitkan izin adalah pemerintah kepada yang mempunyai badan hukum (tidak bisa perseorangan),” tambahnya.

Kadis ESDM Aceh, Mahdinur mengungkap, dalam menghadapi tambang ilegal pihaknya memberikan imbauan sejak 2012 silam agar tidak melakukan kegiatan yang dilarang tersebut.

“Apalagi proses pengolahan emas dengan batuannya menggunakan merkuri, itu sangat berbahaya,” jelas Mahdinur.

“Pada 2014 Pemerintah Aceh atas nama Forkopimda saat itu telah menerbitkan imbauan bersama untuk masyarakat agar tidak melakukan penambangan ilegal karena ini jelas berbahaya,” tambahnya.

Pemerintah melalui Dinas ESDM Aceh, lanjut Mahdinur, hanya bisa memberikan imbauan dan menertibkan, tetapi kalau eksekusi pidana ranahnya ada di penegak hukum.

Sementara Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh, Dr Taufik Abdurrahim mengatakan, kalau kompensasi dari tambang legal saja tidak bisa menjamin kehidupan masyarakat dan tak membuat bencana teratasi, apalagi kemudian yang ilegal.

Penambangan ilegal menurutnya masih berlangsung saat ini di antaranya di Aceh Jaya, Aceh Selatan hingga Pidie yang kemudian memberikan dampak terhadap lingkungan.

“Hari ini menurut indeks bencana, yang tertinggi memberikan dampak itu ya banjir, 47 persen lebih, yang kedua longsor sekitar 13 persen, yang ketiga kekeringan dan yang keempat ada dan lain-lain,” jelas Taufik.

Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh itu juga menyinggung soal gubernur sebelum Pj Achmad Marzuki, ada 16 izin pertambangan yang dikeluarkan secara terburu-buru di Aceh.

“Kalau gak salah saya ada di Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Subulussalam, Aceh Selatan, Gayo Lues, Abdya, Aceh Besar. Itu dikeluarkan 24 Mei 2022, sangat terburu-buru waktu itu,” ungkap Taufik.

“Kalau ini dilakukan, sementara selama ini Aceh sering bencana, penebangan hutan itu jadi masalah,” tambahnya.

Aceh yang selama ini terus dilanda bencana, menurutnya harus menjadi perhatian soal pertambangan ini.

“Dampak tambang itu mengganggu kinerja masyarakat dan merusak kondisi lingkungan,” tambahnya.

“Hari ini kalau semua tidak pelihara, dampaknya lebih parah lagi di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Sumber: Serambinews.com/Sara Masroni)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *